PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persoalan imam merupakan aspek utama dalam ajaran islam yang di
dakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnya masalah aqidah dalam ajaran islam
tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara
dalam Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teologi Islam berdebat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog
sebagai Mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu Kalam juga
di artikan sebagai teologi Islam atau Ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberikan seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah di goyahkan.
Perbedaan teologis dikalangan umat Islam sejak awal memang dapat
mengemuka dala bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu
demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yamg muncul tentang
berbagai persoalan.Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih
sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada
para Rasul, Malaikat, Hari Kiamat dan berbagai ajaran Nabi yang tidak mungkin
lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan.
Dalam makalah ini saya ingin mencoba menjelaskan tentang aliran
salaf dan khalaf beserta tokoh serta ajarannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
penegertian Salaf dan Khalaf?
2.
Ciri-ciri
pemikiran ulama Salaf dan Khalaf?
3.
Siapa
tokoh ulama Salaf dan Khalaf serta riwayat dan pemikirannya?
PEMBAHASAN
A.
Aliran Salaf dan Khalaf
1.
Pengertian Salaf
Salaf menurut
berasal dari kata سلف yang
berarti telah lalu,[1]
sedangkan menurut istilah adalah segala yang ada dalam
diri Sahabat Rosul, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, umat yang sempat mengalami
masa pemerintahannya, mengikuti segala ajarannya, tanpa batasan tempat dan
waktu tertentu.[2]
2.
Ciri-Ciri Ulama Salaf
a. Mendahulukan Wahyu dari pada akal dalam pengambilan
dalil.
b. Membatasi pengambilan dalil hanya dari Al Qur’an dan
Sunnah.
c. Mengembalikan makna ta’wil kepada “Ahlul
Kalam” yaitu ALLAH SWT.
d. Menjaga diri dengan tetap berpegang kepada manhaj/
jalan para sahabat.[3]
3. Tokoh dan pokok-pokok ajarannya
a. Imam Ahmad Ibnu Hanbal
1.
Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Bagdad tahun 164 H/780 m, dan meninggal 241 H/855
M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama
Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan
pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin
Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin
Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit
bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin
Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah
memberikan pendidikan Al-qur’an kepada Ibn Hanbal.Pada usia 16 tahun, ia
belajar Al-qur’an dan Ilmu-ilmu Agama yang lainnya kepada ulama-ulama Bagdad.
Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan
Madinah. Di antar guru-gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah,
Dll. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari ilmu Fiqh, Hadis, Tafsir, Kalam,
Ushul, dan Bahasa Arab.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia
berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari. Ia juga dikenal sebagai
seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Makmun Ar-Rasyid membagi-bagikan
beberapa keping emas kepada ulama Hadis,yang telah menjadi kebiasaan para
khalifah masa itu. Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan Syaikh Abdul Razaq,
salah seorang gurunya menengoknya ketika Ibn Hanbal sedang berada dalam
kesulitan keuangan di Yaman. Syaikh Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dan
kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal
mengatakan, “Saya tidak membutuhkannya”.
Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun
mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban karena tidak
mengakui bahwa Al-qur’an itu makhluk. Akibatnya beberapa kali ia harus masuk
penjara. Nasib serupa dialamianya pada masa pemerintahan pengganti
Al-Mutawakkil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia
memperoleh penghormatan dan kemulyaan.
Di antara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan bin
Musa, Al- Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah
Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, ABuBakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani,
Shaleh dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn
Hanbal.[4]
2.
Pemikiran Ibnu Hambal
a.
Tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih suka
menerapkan pendekatan Lafdzi (Tekstual) daripada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.
Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat berikut:
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó
$# ÇÎÈ
Artinya:
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy. (QS. Thaha:5).
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
استو
ى على ا لعرش كيف شا ء وكما شاء بلا حد ولا صفة يبلغها واص Artinya:
“Istimewa di atas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja L.a kehendaki
dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna Hadis Nuzul (Tuhan turun ke
langit dunia), ru’yah (orang-oarang beriman ,melihat Tuhan di akhirat),
dan Hadis tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab:
Artinya:
“Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan
maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadis mutasyabihat kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama
sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.[5]
b.
Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu
persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara
beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk)
yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenya qadim?
Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah
kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Watsiq adalah faham
Mu’tazilah yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Faham adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan
Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak
diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal
tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian di
uji dalam kasus mihnah oleh aparat Pemerintah. Pandanganya tentang
status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim,
Gubernur Irak. Ibn Hanbal, berdasarkan dialognya itu, ia tidak mau membahas
lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak
diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat
yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.[6]
4.
Pengertian khalaf/ Ahlussunnah Waljama’ah
Khalaf berasal dari kata خلف yang artinya Masa yang datang sesudah[7].
Khalaf menurut istilah diartikan sebagai jalan para ulama’ modern,
walaupun tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama’ modern mengikuti jalan ini.[8]
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering
juga disebut dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu
umum dan khusus. Salam sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok
syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah
masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab
yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian
kedua inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, Ahlussunnah banyak
dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran–ajaran Mu’tazilah Harun Nasution –dengan meminjam keterangan Tasy
Kubra Zadah–menjelaskan bahwa aliran Ahlussunah muncul atas keberanian
dan usaha Abu Abu Al-Hasan Al-Asy’ary sekitar tahun 300-H.[9]
5. Pokok-Pokok Ajaran
a. Mempercayai
bahwa besok di akhirat orang mu’min dapat melihat Allah SWT sebagaimana dalam
firman Allah.
b. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni melahirkan sesuatu yang
bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat Islam.
c.
Percaya bahwa sebaik
kurun / periode adalah masa Rasulullah SAW setelah itu adalah Sahabatnya,
setelahnya adalah Tabi’in…Tabi’it Tabi’in … dan seterusnya.[10]
3.
Tokoh dan Pokok Pemikiran Imam Asya’ry dan Al-Maturidi
a.
Imam Al-Asyar’i
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali Bin Ismail bin
Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Menurut beberapa riwayat beliau di lahirkan di Bashrah pada tahun 260H/875M.
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana
pada tahun 324H/935M.
Menurut Ibnu Asyakir ayah beliau adalah seorang yang berfaham Ahlusunnah
dan ahli Hadist. Ia wafat ketika Asy’ary masih kecil. Sebelum wafat, ia
berwasiat kepada sahabatnya yang bernama Zakariyya bin Yahya
As-Saji
agar mendidik Al-Asy’ari. Sepeninggalan ayahnya, menikah lagi denga seorang
tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Juba’i. Ayah kandung Abu Hasyim
Al-Juba’i . Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ary kemudian menjadi tokoh
Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang
lawan-lawan Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela aliranya.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40
tahun setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah masjid
Bshrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan
keburukan keburukannya. Menurut Ibu Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ary meninggalkan
Mu’tazilah adalah pengakuan beliau telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah
sebanyak tiga kali yakni malam ke-10 ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga
mimpinya itu Rasulullah memperingatkan agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan
membela faham yang telah diriwayatkkan oleh beliau. [11]
b.
Pemikiran Al- Asy’ary
a)
Tuhan dan Sifat-Sifatnya
Beliau berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, seperti
mrmpunyai tangan dan kaki dan ini tidak
boleh di artikan secara harfiah,melainkan secara simbolis ( berbeda dengan
kelompok sifatiyah). Selanjutnya beliau berpendapat bahwa sifat-sifat
Allah itu unik sehingga tidak dapat di bandingkandengan sifat-sifat manusia
yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi
sejauh menyangkut realitasnya( haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya.
Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya. [12]
2.
Kebebasan dalam Berkehendak
Beliau membedakan antar Khaliq dan kasb. Menurutnya
Allah adalah pencipta ( Khaliq ) perbuatan manusia sedangkan manusia
manusia sendiri yang mengupayakannya ( mukhtasib ). Hanya Allah-lah yang
mampu menciptakan sesuatu (termasuk keinginan manusia ).[13]
3.
Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Beliau berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada
wahyu. Sedangkan Mu’tazilah berdasarkan pada akal.[14]
4.
Qadimnya Al-Qur’an
Beliau berpendapat bahwa meskipun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata,
dan huruf serta bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya
tidak qadim.[15]
5.
Melihat Allah
Beliau
berpendapat bahwa Allah dapat di lihat di akhirat, akan tetapi tidak dapat
digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri
yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana penglihatan manusia untuk
melihat_Nya.[16]
6.
Keadilan
Beliau dan Mu’tazilah setuju bahwasanya Allah itu adil. Mereka
hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Beliau sependapat dengan
Mu’tazilah bahwa yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus
menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena dia adalah penguasa
mutlak.[17]
7.
Kedudukan Orang Berdosa
Beliau berpendapat bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik, sebab imam tidak akan hilang karena dosa
selain kufr.[18]
a.
Riwayat Al-Maturidi
Abu Mansur Al-Maturudi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkan, tahun kelahirannya tidak tidak diketahui secara pasti , hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun
333H/944M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin yahya
al-Balahi. Ia wafat pada tahun 268H. Al-Maturidi hidup pada masa Al-Mutawakil
yang memerintah tahun 232-274H.
Karir pendidikan beliau lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi dari pada fiqh. Ia dilakukan untuk memprkuat pengetahuan dalam menghadapi
faham teologi-teologi yang banyak berkembang di masyarakat islam, yang
dipandangnya tidak sesuai kaidah yang benar menurut akal dan syarat.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis diantarnya
ialah kitab Taukhid, Takwil Al-quran, Makhas Asy Syara’i. [19]
d.
Pemikiran Al-Maturidi
a)
Akal dan Wahyu
Beliau berpendapat bahwa mengetahui Tuhan dan Kewajiban mengetahui
Tuhan dapat dikeetahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memeperoleh
pengetahuan dan keimanan terhadap Tuhan melalui pengamatan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak tidak mempunyai
kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut tentunya Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk meelakukannya.
Dalam masalah baik dan buruk beliau berpendapat bahwa yang
menetukan baik dan buruknya suatu itu jika terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan Syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal
mengenai baik dan buruknya sesuatu. Beliau membagi kaitan sesuatu dengan akal
menjadi 3 macam, yaitu:
·
Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan tetang sesuatu itu
·
Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui tentang keburukan sesuatu itu
·
Akal
tidak mengetahui kabaikan dan keburukan sesuatu kecuali dengan petunjuk ajaran
Wahyu.[20]
2.
Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena
segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan Tuhan. Khusus untuk
perbuatan manusia, kebijaksanaan dan
keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan dalam
berbuat
( ikhtiar ) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
dapat dilaksanakannya.[21]
3.
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Beliau berpendapat bahwa segala sesuatu dalam wujud ini adalah yang
baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan, akan tetapi bukan berarti Tuhan
sewenangn wenang dalam dalam kehendaknya melainkan Qudrat Tuhan tidak
sewenang-wenang tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan
Hikmah dan keadilan yang sudah ditentukan olehNya.[22]
4.
Sifat Tuhan
Beliau berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’,
bashar dll.walaupun begitu sift itu tidak dikatakan sebagai esensiNya dan
bukan pula lain dari esensinya.[23]
5.
Melihat Tuhan
Menurut beliau manusia dapat melihat Tuhan hal ini diberitakan oleh
Al-Qur”an antara lain dalam firman Allah surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
……………………
Beliau lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat
dilihat oleh mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun
melihat Tuhan kelak tidak dalam wujudnya karena keadaan di akhirat tidak sama
dengan di dunia.[24]
6.
Kalam Tuhan
Beliau membedakan antara kalam (baca: sabda) yang
tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi ( sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). kalam nafsi adalah sifat qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist
). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana
Allah bersifatdengannya (bila kaifai) tidak dapat kita ketahui , kecuali
dengan suatu perantara.[25]
7.
Perbuatan Manusia
Menurut beliau sesuatu yang tedapat dala wujud ini, kecuali
semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan kecualai karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendakNya sendiri.[26]
8.
Pengutsan Rasul
Menurut beliau akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut terjadi. Jadi pengutusan Rasul
berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti wahyu yang disampaikan oleh
Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuannya kepada akalnya.[27]
9.
Pelaku Dosa Besar
Beliau berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan
tidak kekeal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan
telah menjanjikan dan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal didalam neraka hanya kepada orang yang berbuat dosa syirik.
Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak menyebabkan pelakunya
kekal didalam neraka.
Menurut beliau imam itu cukup dengan tasdiq dan ikrar sedangkan amal adalah penyempurnaan
iman.[28]
PENUTUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian Salaf
Salaf menurut
berasal dari kata سلف yang
berarti telah lalu, sedangkan
menurut istilah adalah segala yang ada dalam diri Sahabat Rosul, Tabi’in,
Tabi’it Tabi’in, umat yang sempat mengalami masa pemerintahannya, mengikuti
segala ajarannya, tanpa batasan tempat dan waktu tertentu.
2.
Ciri-Ciri Ulama Salaf
a. Mendahulukan Wahyu dari pada akal dalam pengambilan
dalil.
b. Membatasi pengambilan dalil hanya dari Al Qur’an dan
Sunnah.
c. Mengembalikan makna ta’wil kepada “Ahlul
Kalam” yaitu ALLAH SWT.
d. Menjaga diri dengan tetap berpegang kepada manhaj/
jalan para sahabat.
3. Tokoh dan pokok-pokok ajarannya
a.
Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Bagdad tahun 164 H/780 m, dan meninggal 241 H/855
M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama
Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan
pendiri Mazhab Hanbali.
b.
Pokok Pokok Ajaran
1.
Tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat
2.
Tentang Status Al-Qur’an
4.
Pengertian khalaf/ Ahlussunnah Waljama’ah
Khalaf berasal dari kata خلف yang artinya Masa yang datang sesudah. Khalaf menurut
istilah diartikan sebagai jalan para ulama’ modern, walaupun tidak dapat
dikatakan bahwa semua ulama’ modern mengikuti jalan ini.
5. Pokok Pokok Pemikiran Ahlussunah
6.
Tokoh dan Pokok Pemikiran Imam Asya’ry dan Al-Maturidi
a.
Imam Al-Asyar’i
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali Bin Ismail bin
Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat beliau di lahirkan di Bashrah pada tahun
260H/875M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan
wafat di sana pada tahun 324H/935M.
b.
Pemikiran Al- Asy’ary
a)
Tuhan dan Sifat-Sifatnya
b)
Kebebasan dalam Berkehendak
c)
Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
d)
Qadimnya Al-Qur’an
e)
Melihat Allah
f)
Keadilan
g)
Kedudukan Orang Berdosa
c.
Riwayat Al-Maturidi
Abu Mansur Al-Maturudi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkan, tahun kelahirannya tidak tidak diketahui secara pasti , hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun
333H/944M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin yahya
al-Balahi. Ia wafat pada tahun 268H. Al-Maturidi hidup pada masa Al-Mutawakil
yang memerintah tahun 232-274H.
d.
Pemikiran Al-Maturidi
a)
Akal dan Wahyu
b)
Perbuatan Manusia
c)
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
d)
Sifat Tuhan
e)
Melihat Tuhan
f)
Kalam Tuhan
g)
Perbuatan Manusia
h)
Pengutsan Rasul
i)
Pelaku Dosa Besar
[1] Idrus
Alkaf, Kamus Tiga Bahasa Al-Manar ( Surabaya: Karya Utama, 2000 ), hal
455.
[2] http://farihailyas.blogspot.com/2010/08/salaf-dan-khalaf-dalam-tawil-ayat-ayat.html Senin, 23 Agustus 2010
[3] Ibid.,
[4] Abdul
Rozak, Ilmu Kalam (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hal 111-112.
[5] Ibid,
hal 112-113.
[6] Ibid,
hal 113-114
[7] Idrus
Alkaf, Kamus Tiga Bahasa Al-Manar, hal 350.
[8] http://farihailyas.blogspot.com/2010/08/salaf-dan-khalaf-dalam-tawil-ayat-ayat.html Senin, 23 Agustus 2010
[9] Abdul
Rozak, Ilmu Kalam, hal 119.
[11] Abdul
Rozak, Ilmu Kalam, hal 124.
[12] Ibid,
hal 121.
[13] Ibid,
hal 122.
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Ibid,
hal 123.
[17] Ibid.,
[18] Ibid,
hal 124.
[19] Ibid,
hal 124-125.
[20] Ibid,
hal 125-126.
[21] Ibid,
hal 126.
[22] Ibid,
hal 128.
[23] Ibid.,
[24] Ibid,
hal 129.
[25] Ibid.,
[26] Ibid,
hal 129-130.
[27] Ibid,
hal 130.
[28] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar