Selasa, 19 Februari 2013

penimbunan (ikhtikar)


PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Ihtikar (penimbunan) adalah menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga. Secara etimologi ihtikar berasal dari kata hakara yang berarti az-Zulm (aniaya) dan isa’ah al-mu’asyarah (merusak pergaulan).
Menurut Imam Asy Syaukani ahli hadist dan ushul fiqh adalah ihtikar adalah penimbunan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al Ghazali mengartikannya sebagai penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harganya melonjak. Adpaun menurut ulama Madzhab Maliki ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen baik berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang dapat merusak pasar.
Ketiga pendapat tersebut secara esensi mempunyai pengertian yang sama menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak namun dari jenis barang yang disimpan / ditimbun terjadi perbedaan. Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikar, dengan memperoleh pendapat para ulama dan memperhataikan situasi perekonomian pada umumnya. Fathi Ad-Dhuraini  memberikan suatu pengertian menurutnya ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta serta enggan untuk menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain.[1]
Penimbunan barang-barang aktivitas jual beli hanya kita kenal dalam sistem ekonomi kontemporer dalam sistem pasar bebas, bagi dunia usaha kontemporer, penumpukan barang-barang tersebut bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, bila didistribusikan pada saat harga naik, dan para konsumen membutuhkannya, transaksi semacam ini memberi keuntungan bagi penimbun dan merugikan pihak konsumen, penimbunan barang adalah membeli sesuatu barang kemudian menyimpannya dengan maksud agar barang itu berkurang peredarannya dalam masyarakat sehingga pada suatu waktu harganya akan meningkat, pada saat harga meningkat, penimbun mengeluarkan barangnya dan mendistribusikan dengan harga yang tinggi, maka dengan demikian konsumen tetap akan membelinya karena sedang membutuhkan dan dalam hal ini apalagi terhadap barang-barang konsumtif yaitu barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat banyak yang setiap orang membutuhkan misalnya beras adalah barang habis dipakai dalam sekali dipakai.
Dalam sistim ekonomi kontemporer penimbunan barang seperti itulah tidak dilarang, dan merupakan hak asasi setiap pengusaha untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas jual beli.[2]
B.     Hukum Ihtikar
Para ulama ahli fiqh menghukuminya sebagai perbuatan yang terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Al-Qur’an yang menyatakan setiap perbuatan aniaya termasuk didalamnya kegiatan Ihtikar diharamkan oleh agama.(QS. Al-Baqarah : 279) begitu juga Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ma’qil bin Yasar bahwa : “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya didalam api neraka pada hari kiamat. Kemudian sabda Rasulullah yang diriwatkan oleh Ibnu Majjah dar Abu Hurairah “Siapa  yang melakukan penimbunan dan merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah merebut salah.”
Dari keterangan diatas dan Sunnah Rasulullah para ulama berpendapat bahwa ihtikar adalah perbuatan yang dilarang dan haram. Menurut ulama madzhab Maliki, Syafi’I, Hanbali, Ibnu Khudaimah sedangkan ihtikar tersebut merupakan perbuatan yang haram dan harus dikendalikan oleh Pemerintah dengan segala cara. Harga dipasaran yaitu dari harga yang rendah menjadi harga yang lebih tinggi.
Penimbunan barang yang diharamkan adalah penimbunan barang yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia seperti makanan, lain dengan kebutuhan sekunder bagi manusia, tidak diharamkan sebab manusia tidak begitu berharap terhadap barang tersebut.
Penimbunan ini menurut hukum Islam dilarang sebab akan dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat, serta dengan sendirinya akan menyusahkan dan bahkan dapat merusak struktur perekonomian suatu masyarakat bahkan negara.
Menurut prinsip Hukum Islam, barang apa yang dihalalkan Allah SWT untuk memilikinya maka halal pula yang menjadi obyek penukaran atau perdagangan, demikian pula halnya segala bentuk barang-barang yang diharamkan untuk memilikinya. Maka haram pula memperdagangkannya, di samping itu terdapat pula ketentuan hukum Islam, bahwa barang itu pada dasarnya adalah halal akan tetapi dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa menimbun barang (supaya harganya naik) maka berdosalah ia” (Riwayat Abu Daud, At Tirmidzi dan Muslim).
Dalam hadits lain Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa melakukan ihtikar atas bahan makanan selama empat puluh malam, maka terlepaslah ia benar-benar dari jaminan Allah dan Allah pun melepaskan jaminanNya dari orang itu” (Riwayat Ahmad, Al Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Ali Bazzar).
Penimbunan barang akan menjurus kearah ketamakan dan keburukan moral yang akan merugikan orang banyak, dalam hadits menyatakan perilaku penimbun maka sabda Rasulullah SAW: “Sejelek-jeleknya hamba adalah penimbun, jika ia mendengar barang murah ia murka jika barang menjadi mahal ia bergembira”. Terlihat si penimbun itu prinsipnya adalah mencari keuntungan yang berlipat ganda, dengan cara menghalalkan berbagai cara, sekalipun usahanya merugikan orang lain.
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menimbun barang pangan selama empat puluh hari ia sungguh telah terlepas dari Allah dan Allah leps dari padanya”. Sabda Rasulullah ini pada dasanrya melarang penimbunan barang-barang pangan selama empat puluh hari, sebab penimbunan itu dapat merusak stabilitas ekonomi, terutama yang berhubungan dengan bahan makanan. Bila penimbun telah mencapai empat puluh hari lebih, maka penimbun ini sangat membahayakan bagi konsumen, sebab bagaimanapun juga mereka sangat membutuhkan bahan makanan sebagai kebutuhan hidupnya, dan barang yang ditimbunnya mengakbiatkan naiknya harga.
Pada dasarnya ketiga hadits tersebut menunjukkan larangan terhadap penimbunan barang, terutama yang menyangkut bahan makanan
sebagai kebutuhan primer manusia, akan tetapi suatu larangan yang sangat tegas tentang penimbunan itu adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Hakim dari Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang menawarkan barang dan menjual dengan harga murah (jalib) diberi rezeki, sedangkan penimbun dilaknat”.
Dalam hubungan ini para Ahli Fiqih berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan terlarang atau diharamkan adalah bila terdapat syarat sebagai berikut:
1) Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhan, serta tanggungan untuk persediaan untuk setahun penuh. Karena seseorang tanggungan untuk persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun
2) Barang-barang yang ditimbunnya itu dalam usaha menunggu saat naiknya harga, sehingga barang tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi, dan para konsumen sangat membutuhkan itu kepadanya.

Penimbunan itu dilakukakn pada saat manusia sangat membutuhkan barang yang ia timbun, seumpamanya makanan pakaian dan lain-lain dalam hal ini bila barang yang ada di tangan pedagang tidak dibutuhkan para konsumen, maka tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesuitan bagi manusia (DR H Chuzaimah T Yanggo dan Drs. HA Hafiz Anshari AZ., Problematika Hukum Islam Kontemporer, LSIK Jakarta hal 103).
Ketiga syarat bila kita analisa dari aspek keharamannya adalah terhadap barang kelebihan nafkah dari dirinya dan keluarganya dan keluarganya dalam masa satu tahun yang berarti bila ia menmbun barang konsumsi untuk kebutuhan hidup keluarga dan dirinya selama setahun tidak diharamkan sebab hal ini adalah wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi di musim paceklik, kemudian pengharaman terhadap barang karena ingin memperoleh keuntungan yang berlipat ganda sebab bila tidak ditimbun, keuntungan yang didapatkan tidak seperti penimbunan, dan penimbunan ini dapat merusak harga dipasaran yaitu dari harga yang rendah menjadi harga yang lebih tinggi.
Penimbunan barang yang diharamkan adalah penimbunan barang yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia seperti makanan, lain dengan kebutuhan sekunder bagi manusia, tidak diharamkan sebab manusia tidak begitu berharap terhadap barang tersebut.



[1]
[2] Chuzaimah, Yanggo, Problematikan Hukum Islam Kontemporer (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,1997) hal. 93.