PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ihtikar (penimbunan) adalah
menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga. Secara etimologi ihtikar
berasal dari kata hakara yang berarti az-Zulm (aniaya) dan isa’ah
al-mu’asyarah (merusak pergaulan).
Menurut Imam Asy
Syaukani ahli hadist dan ushul fiqh adalah ihtikar adalah penimbunan
barang dagangan dari peredarannya. Imam Al Ghazali mengartikannya sebagai penjual
makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harganya
melonjak. Adpaun menurut ulama Madzhab Maliki ihtikar adalah penyimpanan
barang oleh produsen baik berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang dapat
merusak pasar.
Ketiga pendapat
tersebut secara esensi mempunyai pengertian yang sama menyimpan barang yang
dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak namun dari jenis
barang yang disimpan / ditimbun terjadi perbedaan. Dengan menganalisis berbagai
pengertian tentang ihtikar, dengan memperoleh pendapat para ulama dan
memperhataikan situasi perekonomian pada umumnya. Fathi Ad-Dhuraini memberikan suatu pengertian menurutnya ihtikar
adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta serta enggan untuk
menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain.[1]
Penimbunan barang-barang aktivitas
jual beli hanya kita kenal dalam sistem ekonomi kontemporer dalam sistem pasar
bebas, bagi dunia usaha kontemporer, penumpukan barang-barang tersebut
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, bila
didistribusikan pada saat harga naik, dan para konsumen membutuhkannya,
transaksi semacam ini memberi keuntungan bagi penimbun dan merugikan pihak
konsumen, penimbunan barang adalah membeli sesuatu barang kemudian menyimpannya
dengan maksud agar barang itu berkurang peredarannya dalam masyarakat sehingga
pada suatu waktu harganya akan meningkat, pada saat harga meningkat, penimbun
mengeluarkan barangnya dan mendistribusikan dengan harga yang tinggi, maka dengan
demikian konsumen tetap akan membelinya karena sedang membutuhkan dan dalam hal
ini apalagi terhadap barang-barang konsumtif yaitu barang-barang yang merupakan
kebutuhan pokok bagi masyarakat banyak yang setiap orang membutuhkan misalnya
beras adalah barang habis dipakai dalam sekali dipakai.
Dalam sistim ekonomi kontemporer
penimbunan barang seperti itulah tidak dilarang, dan merupakan hak asasi
setiap pengusaha untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas jual beli.[2]
B.
Hukum Ihtikar
Para ulama ahli
fiqh menghukuminya sebagai perbuatan yang terlarang dalam agama. Dasar hukum
pelarangan ini adalah kandungan Al-Qur’an yang menyatakan setiap perbuatan
aniaya termasuk didalamnya kegiatan Ihtikar diharamkan oleh agama.(QS.
Al-Baqarah : 279) begitu juga Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Thabrani dari
Ma’qil bin Yasar bahwa : “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga
tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya didalam api neraka pada
hari kiamat. Kemudian sabda Rasulullah yang diriwatkan oleh Ibnu Majjah dar Abu
Hurairah “Siapa yang melakukan
penimbunan dan merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka ia
telah merebut salah.”
Dari keterangan
diatas dan Sunnah Rasulullah para ulama berpendapat bahwa ihtikar adalah
perbuatan yang dilarang dan haram. Menurut ulama madzhab Maliki, Syafi’I,
Hanbali, Ibnu Khudaimah sedangkan ihtikar tersebut merupakan perbuatan yang
haram dan harus dikendalikan oleh Pemerintah dengan segala cara. Harga dipasaran yaitu dari harga yang rendah
menjadi harga yang lebih tinggi.
Penimbunan barang yang diharamkan adalah
penimbunan barang yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia seperti makanan,
lain dengan kebutuhan sekunder bagi manusia, tidak diharamkan sebab manusia
tidak begitu berharap terhadap barang tersebut.
Penimbunan
ini menurut hukum Islam dilarang sebab akan dapat menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat, serta dengan sendirinya akan menyusahkan dan bahkan dapat merusak
struktur perekonomian suatu masyarakat bahkan negara.
Menurut
prinsip Hukum Islam, barang apa yang dihalalkan Allah SWT untuk memilikinya
maka halal pula yang menjadi obyek penukaran atau perdagangan, demikian pula
halnya segala bentuk barang-barang yang diharamkan untuk memilikinya. Maka
haram pula memperdagangkannya, di samping itu terdapat pula ketentuan hukum
Islam, bahwa barang itu pada dasarnya adalah halal akan tetapi dalam hadits
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa menimbun barang (supaya harganya
naik) maka berdosalah ia” (Riwayat Abu Daud, At Tirmidzi dan Muslim).
Dalam hadits lain
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa melakukan ihtikar atas bahan
makanan selama empat puluh malam, maka terlepaslah ia benar-benar dari jaminan
Allah dan Allah pun melepaskan jaminanNya dari orang itu” (Riwayat Ahmad, Al
Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Ali Bazzar).
Penimbunan
barang akan menjurus kearah ketamakan dan keburukan moral yang akan merugikan
orang banyak, dalam hadits menyatakan perilaku penimbun maka sabda Rasulullah
SAW: “Sejelek-jeleknya hamba adalah penimbun, jika ia mendengar barang murah ia
murka jika barang menjadi mahal ia bergembira”. Terlihat si penimbun itu
prinsipnya adalah mencari keuntungan yang berlipat ganda, dengan cara
menghalalkan berbagai cara, sekalipun usahanya merugikan orang lain.
Rasulullah
SAW bersabda: “Siapa yang menimbun barang pangan selama empat puluh hari ia
sungguh telah terlepas dari Allah dan Allah leps dari padanya”. Sabda
Rasulullah ini pada dasanrya melarang penimbunan barang-barang pangan selama
empat puluh hari, sebab penimbunan itu dapat merusak stabilitas ekonomi,
terutama yang berhubungan dengan bahan makanan. Bila penimbun telah mencapai
empat puluh hari lebih, maka penimbun ini sangat membahayakan bagi konsumen,
sebab bagaimanapun juga mereka sangat membutuhkan bahan makanan sebagai
kebutuhan hidupnya, dan barang yang ditimbunnya mengakbiatkan naiknya harga.
Pada
dasarnya ketiga hadits tersebut menunjukkan larangan terhadap penimbunan
barang, terutama yang menyangkut bahan makanan
sebagai kebutuhan
primer manusia, akan tetapi suatu larangan yang sangat tegas tentang penimbunan
itu adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Hakim dari
Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang menawarkan barang dan
menjual dengan harga murah (jalib) diberi rezeki, sedangkan penimbun
dilaknat”.
Dalam hubungan ini
para Ahli Fiqih berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan terlarang
atau diharamkan adalah bila terdapat syarat sebagai berikut:
1) Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhan, serta
tanggungan untuk persediaan untuk setahun penuh. Karena seseorang tanggungan
untuk persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu
selama satu tahun
2) Barang-barang
yang ditimbunnya itu dalam usaha menunggu saat naiknya harga, sehingga barang
tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi, dan para konsumen sangat
membutuhkan itu kepadanya.
Penimbunan
itu dilakukakn pada saat manusia sangat membutuhkan barang yang ia timbun,
seumpamanya makanan pakaian dan lain-lain dalam hal ini bila barang yang ada di
tangan pedagang tidak dibutuhkan para konsumen, maka tidak dianggap sebagai
penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesuitan bagi manusia (DR H Chuzaimah T
Yanggo dan Drs. HA Hafiz Anshari AZ., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
LSIK Jakarta hal 103).
Ketiga
syarat bila kita analisa dari aspek keharamannya adalah terhadap barang
kelebihan nafkah dari dirinya dan keluarganya dan keluarganya dalam masa satu
tahun yang berarti bila ia menmbun barang konsumsi untuk kebutuhan hidup
keluarga dan dirinya selama setahun tidak diharamkan sebab hal ini adalah wajar
untuk menghindari kesulitan ekonomi di musim paceklik, kemudian pengharaman terhadap
barang karena ingin memperoleh keuntungan yang berlipat ganda sebab bila tidak
ditimbun, keuntungan yang didapatkan tidak seperti penimbunan, dan penimbunan
ini dapat merusak harga dipasaran yaitu dari harga yang rendah menjadi harga
yang lebih tinggi.
Penimbunan
barang yang diharamkan adalah penimbunan barang yang menjadi kebutuhan primer
bagi manusia seperti makanan, lain dengan kebutuhan sekunder bagi manusia,
tidak diharamkan sebab manusia tidak begitu berharap terhadap barang tersebut.